BR. SUWUNG BATAN KENDAL

GARAM

LAHAN PETANI GARAM DI TINDIH BANGUNAN BETON

Sejak dulu, garam sudah dikenal memiliki banyak manfaat, baik untuk melezatkan makanan maupun pengobatan.

Garam dipercaya dapat membantu gerak syaraf, menggerakkan otot, dan menjaga keseimbangan cairan tubuh.

Namun kini, produksi garam di Bali, khususnya di Suwung Batan Kendal Denpasar, mengalami kendala. Apa itu?
PETANI garam senantiasa menyediakan garam untuk dikonsumsi semua orang. Meski demikian, kehidupan para petani garam mengalami pasang surut layaknya air laut.

Seorang petani garam di Banjar Suwung Batan Kendal Kecamatan Denpasar Selatan dan selama melakukan pekerjaan sebagai petani garam, alamlah yang menjadi faktor penentu nasib petani garam. Jika hujan, dipastikan air laut tak akan menghasilkan garam. Sebaliknya jika cuaca panas, kegembiraan akan terpancar dari raut wajah petani garam.

Proses pembuatan garam pun cukup sulit sehingga tidak mungkin dikerjakan sendiri. Sebelum mengalirkan air dari laut, Penabuan (tempat menabur tanah) harus dikeringkan terlebih dulu. Penabuan harus benar-benar kering dan padat agar garam yang dihasilkan benar-benar berkualitas tinggi.

Setelah tanah Penabuan kering, barulah dimulai proses penaburan tanah yang mengandung air laut secara merata . Setelah lebih kurang beberapa jam biasanya siang hari tanah yang sudah ditabur digemburkan kembali sampai kering dan menghasilkan butiran garam. Butiran kasar garam pada tanah yang digembur tersebut harus langsung diangkat.
Setelah tanah kering, kemudian tanah yang kering tersebut disaring dan disiram air laut kembali barulah air saringan direbusa. Proses perebusan memerlukan waktu kurang lebih empat jam. Selama empat jam proses perebusan akan menghasilkan kurang lebih 8 sampai 10 dungki (satuan petani garam).

Dalam satu hari, ia melakukan dua kali perebusan, dan menghasilkan kurang lebih 16 -20dungki, atau sekitar dua karung garam siap konsumsi.

Jika dulu memanfaatkan air laut secara langsung untuk dikristalkan menjadi garam , kini dengan berubahnya lingkungan dan kadar garam air laut di pesisir pantai Suwung Batan Kendal yang makin berkurang, maka sekarang harus mendatangkan bahan baku kristal garam dari Kabupaten Gresik, di Jawa Timur.

“Saat ini, petani garam di Suwung Batan Kendal tidak lagi secara langsung mengeringkan air laut untuk dijadikan garam, karena Penabuan (tempat membuat garam) sudah sebagain dikontrak untuk bangunan permanent dan juga karena kadar garam air laut sudah sangat rendah. Sehingga produksi garam di Suwung Batan Kendal tergantung pasokan garam dari luar Bali.

GANDRUNG


Dulu, gandrung Batan Kendal sempat ngelawang ke sejumlah tempat di sekitarnya. Gandrung, kata seniman Kadek Suartaya, sesungguhnya sudah hadir sejak zaman feodal, ratusan tahun silam. Sementara mantri kesehatan Dr. Yacob dari Belanda, menemukan kesenian itu di Bali sekitar tahun 1881. Sementara gandrung juga berkembang di Lombok dan Jatim. Sementara di Bali, gandrung terdapat di Nusa Penida, Sukawati Gianyar, Ketapian dan Suwung Batan Kendal (Denpasar). Gandrung merupakan seni pergaulan yang dibawakan oleh kaum laki-laki. Kenapa laki-laki? Karena perempuan pada waktu itu tak memiliki kesempatan untuk tampil sebagai penari. Tak hanya gandrung yang penarinya laki-laki, kesenian lain seperti arja, legong, gambuh juga diperankan kaum adam. Penari gandrung umumnya mampu tampil gemah-gemulai seperti wanita. Oleh sebab itu, banyak kaum laki-laki jatuh cinta pada gandrung. Gandrung sesuai dengan padanan katanya senang atau suka. Kesenian ini merupakan tarian sukaria. Di Bali, tarian gandrung diiringi gamelan rindik. Setelah gandrung, baru kemudian muncul kesenian joged, yang sakral disebut joged pingitan.

Masyarakat setempat meyakini, gandrung itu datang dari Jawa yang dibawa ke Bali melalui perairan laut. Itu dikaitkan dengan letak wilayah Suwung Batan Kendal yang berada dekat pantai. Dikatakan, penari gandrung harus laki-laki. Penarinya juga mesti masih belum menginjak dewasa -- akil balik. Tak sembarang orang bisa diberi restu untuk menjadi penari gandrung. Penentuan seorang penari harus melalui proses ritual. Dari sekian calon penari yang sudah diawali proses latihan, hanya ditunjuk seorang. Penunjukan itu pun mesti berdasarkan ''restu'' dari Ida sesuhunan. Semacam seleksi alam. Siapa yang diberi ''mandat'' untuk menarikan gandrung, dia tak boleh menolak. Sebagai kesenian yang disakralkan, umumnya masyarakat nanggap tarian gandrung sehubungan dengan membayar kaul.

Klian Banjar Suwung Batan Kendal Ketut Darna mengatakan, gandrung yang berkembang di banjarnya tidak diketahui secara pasti kapan adanya. Yang jelas, kesenian yang disakralkan itu sudah ada sejak lama. Bangkitnya kembali kesenian gandrung di Suwung Batan Kendal, kata Darna, ada sejarahnya. Menurut cerita penglingsir banjar setempat, hadirnya kesenian ini bermula dari adanya musibah -- kematian banyak orang. Dikatakan, di Banjar Suwung Batan Kendal dulunya ada kesenian barong ket. Tetapi setelah adanya musibah, muncul bawos dari sesuhunan (Tuhan-red) agar masyarakat tidak lagi mementaskan barong ket, tetapi kesenian lain yang pernah ada sebelumnya. Kesenian itu masih ada ''jejaknya'' di Pura Taman Batan Kendal. Ternyata, di pura itu ada warisan berupa rangka gelungan berbentuk sangkar burung. Setelah diteliti, ternyata benda itu dulunya gelungan gandrung.

Gandrung Suwung Batan Kendal
Penarinya mesti Dapat Restu ''Sesuhunan''
Bagaimana sejarah lahirnya kesenian tersebut di sana? Kenapa penari gandrung harus dimainkan oleh laki-laki? Agus Eka Putra, sang penari gandrung membawakan sejumlah tarian dengan gerak tubuh yang gemah-gemulai. Sama seperti joged bumbung, sang penari juga mendapat ibingan dari penonton. Cuma, ada bedanya. Jika penari joged bumbung sengaja menjawat si pengibing, hal itu tak berlaku pada gandrung. Pengibing gandrung bersedia menari, karena didasari atas niat yang tulus.